
Konsep Ilmu Akhirat dan Dunia dalam Islam?: Sebuah Kritik terhadap Pemahaman yang Keliru
oleh:topik_rohim12
Konsep Ilmu Akhirat dan Dunia dalam Islam?: Sebuah Kritik terhadap Pemahaman yang Keliru
Di Indonesia, seringkali kita mendengar istilah "ilmu akhirat" dan "ilmu dunia" yang digunakan untuk membedakan jenis-jenis pengetahuan. Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam ajaran Islam sendiri, tidak ada konsep yang secara eksplisit membagi ilmu menjadi ilmu akhirat dan ilmu dunia. Pembagian ini lebih merupakan produk budaya dan interpretasi yang tidak didasarkan pada sumber-sumber utama Islam, seperti Al-Qur'an dan hadis.
Kesalahpahaman tentang Ilmu Akhirat dan Ilmu Dunia
Banyak orang di Indonesia yang mengaku agamis sering mengartikan bahwa mempelajari bahasa Arab adalah bagian dari ilmu akhirat, sementara mempelajari bahasa Inggris adalah ilmu dunia yang tidak akan menyelamatkan kita di akhirat kelak. Padahal, bahasa hanyalah produk budaya dan tidak ada perbedaan antara satu dengan yang lain dalam konteks spiritualitas atau keselamatan akhirat.
Misalnya, belajar ilmu tafsir sering kali dianggap sebagai ilmu akhirat, sedangkan belajar matematika dianggap sebagai ilmu dunia yang hanya mengejar materi. Akibat dari pemahaman ini adalah banyak orang yang mengabaikan pelajaran seperti IPA, sosiologi, fisika, dan lainnya, karena dianggap tidak memberikan manfaat bagi kehidupan akhirat. Pandangan seperti ini adalah cacat logika yang melemahkan kemampuan akademis masyarakat Indonesia.
Pembelajaran Ilmu di Zaman Keemasan Islam
Jika kita melihat kembali pada masa keemasan Islam, terutama pada masa Dinasti Abbasiyah, kita akan menemukan bahwa tidak ada pembagian ilmu seperti itu. Pada masa itu, umat Islam sangat terbuka terhadap berbagai ilmu dari luar, baik dari Persia, Eropa, dan penjuru dunia lainnya. Mereka menerjemahkan karya-karya penting ke dalam bahasa Arab dan mempelajarinya dengan serius. Bagdad, pada masa itu, dikenal sebagai pusat keilmuan dunia, di mana filsafat, matematika, kedokteran, seni sastra, astronomi, dan banyak bidang ilmu lainnya berkembang pesat.
Pada masa Dinasti Abbasiyah, lembaga seperti Bayt al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) didirikan di Bagdad. Lembaga ini menjadi pusat penerjemahan dan penelitian, di mana para cendekiawan dari berbagai latar belakang agama dan budaya berkumpul untuk berbagi pengetahuan. Bayt al-Hikmah tidak hanya fokus pada ilmu agama, tetapi juga pada ilmu-ilmu dunia seperti matematika, kedokteran, astronomi, dan filsafat. Inilah salah satu faktor yang menjadikan peradaban Islam pada masa itu sebagai pusat keilmuan dan inovasi yang diakui oleh dunia.
Pembelajaran dari Sejarah
Tidak bisakah kita berkaca dari sejarah tersebut? Islam seharusnya bisa maju dengan konsep dasar ajaran Rasulullah dan para sahabat, yang tidak membedakan antara ilmu-ilmu yang bermanfaat. Sayangnya, masyarakat Indonesia seringkali salah mengartikan dan terlalu "agamis buta" dengan apa yang dipercayainya. Bahkan konsep dasar seperti kejujuran, etika, moral, dan menjaga alam sudah tertera dalam ajaran Islam, namun implementasinya di Indonesia masih jauh dari harapan.
Realita Sosial dan Tantangan Keagamaan di Indonesia
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara paling agamis, namun ironisnya, tingkat korupsinya tinggi, menunjukkan ketidakjujuran yang merajalela. Selain itu, Indonesia juga termasuk negara paling tidak sopan di media sosial, yang menunjukkan kurangnya etika dalam interaksi digital. Tingkat minat baca dan literasi yang rendah, sebagaimana yang diukur oleh Programme for International Student Assessment (PISA), juga mempermalukan kita setiap tahunnya. Fenomena seperti membuang sampah sembarangan ke sungai juga menunjukkan ketidakpedulian terhadap kebersihan dan alam, padahal Islam mengajarkan pentingnya menjaga kebersihan dan lingkungan. Apakah orang kita masih bisa dianggap agamis?
Niat dalam Mencari Ilmu
Kalaupun mau membenarkan konsep ilmu akhirat dan ilmu dunia, tidak ada patokan apapun tentang mana yang ilmu akhirat maupun ilmu dunia. Belajar tafsir pun bisa menjadi ilmu dunia jika niatnya adalah untuk dilihat keren dan mengejar pangkat, materi, atau kepentingan pribadi. Sebaliknya, belajar fisika bisa menjadi ilmu akhirat jika niatnya adalah memuji kebesaran Tuhan, memahami betapa hebatnya alam semesta bekerja di balik suatu atom yang kecil, dan lain sebagainya. Jadi, kalaupun konsep itu ada, tidak ada patokan ilmu apa yang disebut ilmu akhirat atau dunia, semua kembali kepada niat individu yang mempelajarinya.
Kesimpulan
Dari sini kita bisa melihat bahwa masyarakat Indonesia masih beragama dengan kurang tepat, terutama dalam memahami inti dari agama itu sendiri. Agama tidak seharusnya memisahkan ilmu menjadi akhirat dan dunia, tetapi seharusnya mendorong umatnya untuk mencari pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan di dunia dan akhirat. Dengan memahami ajaran Islam secara lebih komprehensif dan mengimplementasikannya dengan benar, kita dapat memperbaiki berbagai aspek kehidupan, baik dari segi spiritual maupun akademis. Mari kita belajar dari sejarah dan berusaha untuk tidak terjebak dalam kesalahpahaman yang merugikan.
Komentari Tulisan Ini
Pimpinan Pesantren Katulistiwa

Muhamad Ali. S.H.I., M.H.I.
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكاَتُهُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ الْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ فَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى…